Selasa, 03 Desember 2013

Hidup Sederhana itu Nikmat

Ayah Bunda, setiap mendengar kata “anggota dewan” sering kita berpikir pastilah beliau hidup berkecukupan, rumah besar, kendaraan mewah. Namun, sosok yang satu ini berbeda dengan kebanyakan anggota dewan. Beliau tetap hidup sederhana. Rumah sederhana, kendaraan sederhana dan pola hidup sederhana. Rumah yang beliau tempati sekarang, adalah rumah kontrakan yang sekat dindingnya masih berupa triplek. Tidak ada benda yang mewah di dalamnya, walau sekedar televisi. Bahkan kursi ruang tamu pun cukup dari plastik. Itupun akan dikeluarkan jika ada tamu tertentu yang membutuhkan duduk di kursi. Karena biasanya tamu-tamu beliau akan ditemui di ruang tamu yang beralas tikar. Lesehan. Sungguh, jauh dari kesan mewah. Beliau adalah Bapak Abdul Ghofar Ismail yang dikenal sebagai ustadz Ghofar.
Berikut petikan wawancara dengan beliau

Bagaimana kehidupan masa kecil ustadz Ghofar?
Kedua orang tua saya adalah pegawai negeri (Guru) yang gajinya saat itu sangat minim. Jadi memerlukan kerja sampingan untuk bisa menghidupi 6 anaknya dan beberapa saudara dari desa yang ikut bapak dan sekolah di Solo. Oleh karena itu, sejak kecil saya dilatih bapak dan ibu hidup prihatin dan bekerja dengan membantu loper makanan, wingko babad dan telur sunduk ke warung susu, angkringan atau hik, warung makan dan kantin sekolah. Setiap hari bakda magrib, saya berangkat membonceng motor bersama bapak mengantar makanan hingga jam 8 malam. Bakda subuh, dengan berseragam sekolah saya dan kakak berkeliling ke angkringan untuk mengambil sisa dagangan makanan yang tidak laku dan mengantar makanan ke kantin sekolah. Ya, masa kecil yang bahagia. Banyak pengalaman, maksud saya.

Bagaimana peran orangtua ustadz dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak beliau?
Orang tua saya sangat menekankan pendidikan. Kalau pagi saya sekolah di SD Al Islam yang notabene banyak pelajaran agama, sore harus belajar di Madrasah Diniyah yang khusus mempelajari agama.

Apakah ustadz dulu tidak bosan sekolah pagi sore?
Wah, saya dulu nggak Cuma sekolah pagi sore. Malam saya juga diharuskan orang tua ndarus ke Kyai Pujo di Langgar Haji Inoe Potrojayan Serengan. Bukannya bosan, justru dengan didikan orang tua inilah yang menjadikan saya suka ngaji, alhamdulillah.

Apakah orang tua dulu menginginkan ustadz menjadi ahli agama?
Nah, itu dia uniknya. Memang orang tua saya sangat menekankan masalah agama. Ketika lulus SMA, kebiasaan ngaji kepada para kyai sejak SMP, mendorong saya untuk mondhok ke pesantren setelah SMA.
Namun kedua orang tua menghendaki untuk kuliah di PTN karena menurut beliau untuk ilmu agama cukup seperti yang selama ini dijalani. Sebenarnya dulu saya ingin melanjutkan ke LPBA (Sekarag LIPIA) Jakarta atau ke PTIQ atau ke IAIN. Karena beda keinginan itulah akhirnya saya nganggur 1 tahun untuk menyamakan persepsi dengan orang tua. Akhirnya , sebagai bakti saya pada orang tua, pada tahun kedua saya mendaftar ke PTN dan diterima di UNS. Alhamdulillah saya kemudian dipertemukan Allah SWT dengan ustadz-ustadz muda yang memiliki kemampuan dan pemahaman agama yang mendalam dan mumpuni dari kalangan akademisi seingga saya tetap aktif mengikuti kajian-kajian beliau.

Apakah ada pengalaman menarik ketika remaja?
O,iya. Mungkin banyak yang tidak tahu kalau saya dulu pernah narik becak. Ya, itu saya lakukan tanpa sepengetahuan orang tua saya. Niat saya sebenarnya ingin mem-bantu ekonomi keluarga. Karena waktu itu saya sangat sedih melihat slip gaji ayah saya yang minus karena digunakan untuk mem-bayar hutang di koperasi. Sejak saat itu, saya bertekad untuk mencari uang. Selain membantu orang tua berjualan kue, saya berusaha bekerja minimal agar tidak me-repotkan orang tua. Syukur bisa membantu untuk membiayai adik-adik. Ya, itu salah satu usaha saya dengan narik becak. Tapi akhirnya ketahuan oleh teman ibu yang kebetulan menaiki becak yang saya kemudikan, saya dilarang narik lagi.

Baik. Sekarang Ustad sudah men-jadi anggota dewan, namun kehidupan Ustad terbilang sangat sederhana. Apa yang melatarbelakangi hal ini?
Alhamdulillah saya sekarang hidup bersama keluarga, bersama istri dan 6 anak di rumah kontrakan. Ya, termasuk bangunan lama dengan 4 tiang tanpa otot besi, namun lumayan luas terdiri dari 3 kamar, ruang tamu, ruang keluarga, kamar mandi, teras. Karena bangunan lama, pada musim peng-hujan agak sering bocor dan harus mem-perbaiki di sana-sini. Banyak saudara dan teman yang menyarankan untuk pindah kontrakan kata mereka, "Tidak pantas anggota dewan tinggal di kontrakan seperti itu'. Bahkan pernah, ketika istri saya sakit banyak ibu-ibu pengajian yang menjenguk ke rumah dan langsung komentar, "Rumah anggota dewan kok kayak begini?' Ya, alhamdulillah kami menikmati semua ini. Buat apa hidup bermewah-mewah? Ujian kemewahan itu berat. Orang sering lupa jika di uji dengan kemewahan. Karena sebagai seorang muslim kita harus menempatkan dunia itu di tangan. Bukan di hati.

Apakah tidak ada keinginan untuk hidup seperti anggota dewan ke-banyakan Tadz?
Sejak remaja saya membiasakan hidup sederhana dan mandiri. Dulu ketika masih lajang saya hanya mempunyai pakaian 3 lembar. Kalau satunya dipakai, yang satu dicuci, dan satunya disimpan. Saya ter-masuk anak yang tidak pernah minta dibelikan barang-barang sehingga kadang orang tua tiba-tiba membelikan baju atau yang lain tanpa sepengetahuan saya. Kebiasaan ini terbawa sampai berkeluarga. Alhamdulillah Allah SWT mempertemukan saya dengan istri  yang mempunyai pola hidup yang sederhana juga meski putri seorang kyai dan orang kaya.

Apakah anak-anak tidak protes ingin rumah besar atau mobil?
Wah, mobil apa? Motor saja sudah cukup kok. Alhamdulillah, anak-anak tidak ada yang membandingkan kehidupan keluarga kami dengan keluarga yang lain. Sempat anak perempuan kedua saya mengatakan, "Abi dan umi kok kayaknya nggak pernah dipusingkan dan diributkan dengan masalah harta to?"
Ya, jadi anak-anak akan melihat contoh dari orangtuanya. Alhamdulillah semua ber-jalan baik-baik saja.

Apakah kesibukan Ustad selain menjadi anggota dewan?
Saya masih aktif mengajar. Asli saya kan guru. Saya mengajar sejak  semester 7. Sampai sekarang saya ya tetap mengajar meski sudah menjadi anggota dewan.

Apakah prinsip yang sering Ustad sampaikan ke anak-anak?
Alhamdulillah saya masih ingat pesan orangtua saya dulu dan saya teruskan ke anak-anak saya. "Le, dadi wong ki sing enthengan karo sapa wae mengko Gusti Allah bakal ngenthengke kowe yen pinuju ana masalah" (Nak, jadi orang yang ringan tangan suka membantu dengan siapa saja agar Allah nanti juga membantumu ketika mendapat masalah atau dalam kesulitan).
InsyaAllah semakin kita banyak mem-bantu orang lain rejeki kita makin barokah. n(fna)

 Keluarga Ustadz Abdul Ghofar Ismail


 Kendaraan pribadi yang dipakai setiap hari


SUMBER:
Majalah Al Abidin Edisi 25

0 komentar:

Posting Komentar